A PIECE OF PAPER

Play Song: Bitter Sweet Symphony - The Verve

Ada satu kebiasaan yang menurutku sangat menarik dimiliki oleh sebagian orang. Mereka bisa benar-benar meninggalkan masalah kemarin di tempatnya. Seolah ada kemampuan alami untuk “menutup buku” setiap hari. Apa pun yang sudah terjadi, ya sudah. Hari ini adalah ruang baru, dengan energi dan fokus yang berbeda.


Aku pernah mengagumi kebiasaan itu. Tapi jujur saja, aku sendiri belum tentu bisa.


Mungkin untuk beberapa jenis masalah, iya. Terutama hal-hal teknis, tekanan dari luar, atau hal-hal yang bisa langsung dicari solusinya. Misalnya soal pekerjaan, komunikasi yang macet, kesalahpahaman. Di situ aku masih bisa berpikir: “Apa ini salahku? Bisa diperbaiki nggak? Kalau bisa, ayo pikirkan jalannya.”


Aku terbiasa menyambut masalah dengan logika. Mengandalkan pikiran. Bertahan di mode bertindak. Dan jujurnya, aku cukup nyaman dengan cara itu. Bahkan kadang aku merasa puas, ada semacam rasa lega ketika berhasil menemukan jalan keluar, atau saat aku bisa menunjukkan bahwa aku mampu menyelesaikan sesuatu yang sulit.


Tapi semakin ke sini, aku sadar bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan seperti itu.


Ada jenis masalah yang lain yang tak bisa diselesaikan dengan berpikir atau mencari solusi. Kehilangan, pengabaian, pengkhianatan. Masalah-masalah yang sifatnya pribadi, emosional, dan sangat menyentuh ke inti diri.


Masalah seperti ini… berbeda. Ia tak bisa diurai dengan cepat. Dan lebih dari itu, ia seringkali mengikis rasa percaya diri yang selama ini aku bangun.

Aku bukan lagi orang yang tahu harus ngapain. Aku bukan lagi orang yang siap mencari solusi.

Aku hanya seseorang yang merasa kosong, kalah, dan ingin lari.


Di saat seperti itu, aku menemukan rasa yang lebih sulit lagi: malu.

Malu karena aku tidak mampu menghadapi dengan “cara biasa”.

Malu karena aku merasa hancur, padahal biasanya aku bisa tegar.

Malu karena tidak bisa melindungi diri dari luka.


Dan rasa malu itu… tidak terlihat dari luar. Tapi terasa sangat jelas di dalam diri. Rasanya seperti dipermalukan oleh hidup, dan tidak punya pembelaan. Padahal tidak semua hal bisa dikendalikan. Tapi tetap saja aku merasa gagal.


Sampai di titik tertentu, tubuh dan pikiranku berhenti. Tidak bisa berpikir, tidak bisa menerima.

Yang bisa aku lakukan hanyalah menghindar, pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Dan sejujurnya, itu tidak membuat masalahnya hilang. Tapi setidaknya memberi jeda.

Sampai aku benar-benar siap untuk melihatnya apa adanya.


Dan anehnya, setelah semua itu berlalu…

Selalu ada hal yang berubah dalam diriku.


Mungkin tidak langsung. Tapi setelah melewati satu masalah besar setelah semua perasaan campur aduk itu lewat aku menyadari bahwa aku sudah bukan aku yang dulu.

Sudah ada bagian dalam diriku yang lebih dewasa.

Sudah ada cara berpikir yang lebih jernih.

Dan, meskipun masih takut, aku mulai belajar untuk menerima.


Tumbuh itu ternyata tidak selalu terasa menyenangkan.

Seringkali ia muncul dari proses hancur yang panjang.

Kita pikir kita kalah. Tapi ternyata dari kekalahan itu, kita dipaksa belajar cara baru untuk berdiri.


Hari ini aku tidak mau mengagung-agungkan luka. Tidak semua rasa sakit itu bermakna.

Tapi aku juga tidak bisa memungkiri bahwa dari beberapa rasa sakit, aku belajar sesuatu yang tidak pernah bisa diajarkan oleh hari-hari biasa.


Dan meskipun sering merasa kalah, aku ingin mulai berdamai dengan perasaan itu.

Aku tidak harus selalu punya jawaban.

Aku tidak harus selalu kuat.

Yang penting adalah aku terus jujur pada diriku sendiri.

Bahwa aku sedang berproses, dan tidak apa-apa kalau prosesnya pelan.

Play song: Rivers and Roads - The Head and The Heart

Ada satu kalimat yang akhir-akhir ini sering terlintas di pikiranku:

“Kenapa manusia justru berkembang saat berada dalam cobaan dan ketidaknyamanan, bukan saat nyaman?”

Setiap kali aku melewati masa sulit entah karena keadaan, orang lain, atau pikiranku sendiri aku selalu merasa seperti gagal. Dunia terasa sempit. Hati terasa kosong. Motivasi lenyap. Tapi anehnya, waktu terus berjalan, dan tanpa kusadari aku perlahan bangkit. Entah karena aku memaksa diriku keluar dari titik itu, atau karena keadaan memaksaku bergerak.

Ketika berhasil melewati cobaan itu, aku sadar bahwa aku tumbuh. Bahwa di balik rasa gagal itu, ada pelajaran yang diam-diam membentuk aku jadi lebih kuat. Tapi saat aku berada di zona nyaman, semua jadi berbeda. Rasanya semua baik-baik saja. Tidak ada tekanan, tidak ada tantangan. Tapi justru karena itu, aku jadi terlalu santai. Banyak hal yang terlewat. Banyak peluang yang tidak aku ambil. Sampai akhirnya, masalah datang sendiri, dan siklus itu berulang lagi.

Lalu aku bertanya,

“Apa mungkin memang begitu cara alam bekerja?”

Aku sering membayangkan hidup ini seperti permainan. Kita masing-masing adalah karakter utama dalam game kita sendiri. Dan alam adalah medannya penuh rintangan, peraturan, kesempatan, dan misteri. Kita diberi kekuatan, tapi bukan sejak awal. Kekuatan itu didapat dari seberapa banyak game kita lewati. Dari seberapa banyak kita jatuh dan mencoba bangkit. Dari seberapa sering kita belajar bukan hanya dari keberhasilan, tapi justru dari kegagalan.

Contohnya saja, orang-orang yang hidup di iklim ekstrem. Mereka yang tinggal di tempat-tempat dengan empat musim keras, bencana alam, atau sumber daya terbatas seringkali justru lebih kreatif, tahan banting, dan tangguh. Kenapa? Karena alam memaksa mereka untuk bertumbuh. Kalau mereka mau bertahan, mereka harus berubah, harus berkembang. Berbeda dengan mereka yang tinggal di tempat nyaman, di mana segalanya tersedia tanpa banyak usaha. Kadang kenyamanan adalah jebakan diam-diam yang membuat kita tidak pernah benar-benar mengenal kekuatan kita sendiri.


Pertanyaan yang Selalu Mengusik: Untuk Apa Aku Hidup?

Sejak aku mulai bisa berpikir mandiri sekitar umur 16 tahun aku mulai merasa bahwa hidup ini harus punya tujuan. Tapi tidak seperti yang diajarkan banyak orang: bahwa tujuan hidup adalah menjadi sukses.

Karena menurutku, sukses itu bukan sesuatu yang absolut. Seseorang bisa menjadi sangat kaya, terkenal, berkuasa… tapi tetap merasa kosong dan tidak bahagia. Sementara orang lain yang hidup sederhana, jauh dari sorotan, justru bisa hidup dengan tenang, bersyukur, dan penuh makna. Jadi, sukses bukan ukuran sejati.

Tapi masalahnya, sampai sekarang, di usia 23 tahun ini, aku belum tahu apa sebenarnya tujuan hidupku. Yang aku tahu, pertanyaan itu “apa tujuan hidupku?” justru menjadi alasan kenapa aku terus bertahan hidup. Karena selama aku terus bertanya, selama aku terus mencari, aku tahu aku belum selesai.

Aku yang Sekarang: Hasil Keputusan, dan Ketidakterputusan

Aku percaya bahwa aku hari ini adalah hasil dari keputusan yang aku buat di masa lalu. Tapi kalau jujur, lebih banyak keputusan yang tidak aku ambil dibandingkan yang aku ambil. Dan itu sering membuatku berpikir:

“Kalau saja waktu itu aku berani… Kalau saja aku tidak takut… Kalau saja aku lebih rajin…”

Tapi aku sadar, hidup bukan tentang “kalau saja”. Karena waktu tidak pernah mundur. Kalau aku terus ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hari ini, maka masa lalu itu akan menjadi masa kini, dan masa kini akan jadi masa lalu baru. Aku akan terus berputar dalam lingkaran tanpa ujung.

Jadi aku berhenti di situ. Aku memilih maju. Karena waktu selalu bergerak ke depan.


Kenapa Aku Terasa “Biasa-Biasa Saja”?

Kadang aku merasa bahwa hidupku terlalu biasa.
Aku tidak pernah sekolah di tempat favorit. Saat mencoba masuk SMA unggulan, gagal. Saat mencoba masuk PTN, gagal juga. Prestasiku tidak istimewa. Mungkin justru saat SMA dan kuliah aku merasa lebih berkembang tapi tetap saja, aku bukan yang terbaik.

Bukan karena aku bodoh. Aku tahu aku bisa. Tapi kenyataannya…
rasa malas dan takut itu terlalu kuat. Aku sering menahan diri. Tidak memberi usaha terbaik. Mungkin karena sudah terbiasa kecewa. Mungkin karena merasa terlalu sering gagal.
Dan akhirnya, kegagalan itu sendiri menjadi hal yang biasa.

Saat gagal, aku tidak lagi terlalu sedih. Aku hanya merasa, “yah, sudah biasa.”
Saat berhasil pun, aku tidak benar-benar merasa bangga. Rasanya seperti “bonus”, seperti keberuntungan. Bukan hasil kerja keras.

Tapi dari semua itu, aku belajar satu hal:
Aku tidak mau lagi hidup untuk jadi nomor satu versi orang lain.
Aku ingin jadi nomor satu versiku sendiri.
Aku ingin terus mengalahkan diriku yang kemarin, dua tahun lalu, lima tahun lalu.
Karena perjalanan ini bukan tentang menang. Tapi tentang terus menjadi lebih baik.


Dunia Ajaib yang Ingin Aku Bangun Kembali

Sejak kecil, aku punya satu imajinasi:

“Aku ingin hidup dalam dunia yang aku ciptakan sendiri. Dunia yang penuh makna. Penuh keajaiban. Tidak perlu diketahui orang lain. Cukup aku yang tahu. Dunia tempat aku bisa jujur dan hidup dengan cara yang aku inginkan.”

Tapi ketika tumbuh dewasa, aku mulai melihat bagaimana masyarakat bekerja. Aku mulai terbawa. Ingin dipuji. Ingin diakui. Ingin dianggap hebat.
Tapi ternyata… itu sangat melelahkan.
Aku merasa kehilangan diriku sendiri.
Dan hari ini, aku memutuskan pelan-pelan untuk kembali membangun dunia ajaibku.
Dunia yang tidak bergantung pada opini orang lain.
Dunia yang tidak menunggu tepuk tangan.
Dunia yang hanya tentang aku dan hidupku yang aku maknai, aku bentuk, aku jalani dengan cara yang paling jujur.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ▼  2025 (2)
    • ▼  Agustus (1)
      • don’t cry over spilled milk, but it still hurts
    • ►  Juli (1)
      • hidup, cobaan, dan dunia ajaib
  • ►  2024 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2021 (3)
    • ►  Desember (2)
    • ►  April (1)

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts ๋࣭ ⭑⚝

  • the famous detective
  • jangan jadi perempuan
  • jika aku jadi dia

Label ࿐

  • something about feelings (2)
  • something fun (3)
  • talk to talk (5)
  • what the media doesn't say (2)

hallo 𐙚

hallo 𐙚

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi