hidup, cobaan, dan dunia ajaib

Play song: Rivers and Roads - The Head and The Heart

Ada satu kalimat yang akhir-akhir ini sering terlintas di pikiranku:

“Kenapa manusia justru berkembang saat berada dalam cobaan dan ketidaknyamanan, bukan saat nyaman?”

Setiap kali aku melewati masa sulit entah karena keadaan, orang lain, atau pikiranku sendiri aku selalu merasa seperti gagal. Dunia terasa sempit. Hati terasa kosong. Motivasi lenyap. Tapi anehnya, waktu terus berjalan, dan tanpa kusadari aku perlahan bangkit. Entah karena aku memaksa diriku keluar dari titik itu, atau karena keadaan memaksaku bergerak.

Ketika berhasil melewati cobaan itu, aku sadar bahwa aku tumbuh. Bahwa di balik rasa gagal itu, ada pelajaran yang diam-diam membentuk aku jadi lebih kuat. Tapi saat aku berada di zona nyaman, semua jadi berbeda. Rasanya semua baik-baik saja. Tidak ada tekanan, tidak ada tantangan. Tapi justru karena itu, aku jadi terlalu santai. Banyak hal yang terlewat. Banyak peluang yang tidak aku ambil. Sampai akhirnya, masalah datang sendiri, dan siklus itu berulang lagi.

Lalu aku bertanya,

“Apa mungkin memang begitu cara alam bekerja?”

Aku sering membayangkan hidup ini seperti permainan. Kita masing-masing adalah karakter utama dalam game kita sendiri. Dan alam adalah medannya penuh rintangan, peraturan, kesempatan, dan misteri. Kita diberi kekuatan, tapi bukan sejak awal. Kekuatan itu didapat dari seberapa banyak game kita lewati. Dari seberapa banyak kita jatuh dan mencoba bangkit. Dari seberapa sering kita belajar bukan hanya dari keberhasilan, tapi justru dari kegagalan.

Contohnya saja, orang-orang yang hidup di iklim ekstrem. Mereka yang tinggal di tempat-tempat dengan empat musim keras, bencana alam, atau sumber daya terbatas seringkali justru lebih kreatif, tahan banting, dan tangguh. Kenapa? Karena alam memaksa mereka untuk bertumbuh. Kalau mereka mau bertahan, mereka harus berubah, harus berkembang. Berbeda dengan mereka yang tinggal di tempat nyaman, di mana segalanya tersedia tanpa banyak usaha. Kadang kenyamanan adalah jebakan diam-diam yang membuat kita tidak pernah benar-benar mengenal kekuatan kita sendiri.


Pertanyaan yang Selalu Mengusik: Untuk Apa Aku Hidup?

Sejak aku mulai bisa berpikir mandiri sekitar umur 16 tahun aku mulai merasa bahwa hidup ini harus punya tujuan. Tapi tidak seperti yang diajarkan banyak orang: bahwa tujuan hidup adalah menjadi sukses.

Karena menurutku, sukses itu bukan sesuatu yang absolut. Seseorang bisa menjadi sangat kaya, terkenal, berkuasa… tapi tetap merasa kosong dan tidak bahagia. Sementara orang lain yang hidup sederhana, jauh dari sorotan, justru bisa hidup dengan tenang, bersyukur, dan penuh makna. Jadi, sukses bukan ukuran sejati.

Tapi masalahnya, sampai sekarang, di usia 23 tahun ini, aku belum tahu apa sebenarnya tujuan hidupku. Yang aku tahu, pertanyaan itu “apa tujuan hidupku?” justru menjadi alasan kenapa aku terus bertahan hidup. Karena selama aku terus bertanya, selama aku terus mencari, aku tahu aku belum selesai.

Aku yang Sekarang: Hasil Keputusan, dan Ketidakterputusan

Aku percaya bahwa aku hari ini adalah hasil dari keputusan yang aku buat di masa lalu. Tapi kalau jujur, lebih banyak keputusan yang tidak aku ambil dibandingkan yang aku ambil. Dan itu sering membuatku berpikir:

“Kalau saja waktu itu aku berani… Kalau saja aku tidak takut… Kalau saja aku lebih rajin…”

Tapi aku sadar, hidup bukan tentang “kalau saja”. Karena waktu tidak pernah mundur. Kalau aku terus ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hari ini, maka masa lalu itu akan menjadi masa kini, dan masa kini akan jadi masa lalu baru. Aku akan terus berputar dalam lingkaran tanpa ujung.

Jadi aku berhenti di situ. Aku memilih maju. Karena waktu selalu bergerak ke depan.


Kenapa Aku Terasa “Biasa-Biasa Saja”?

Kadang aku merasa bahwa hidupku terlalu biasa.
Aku tidak pernah sekolah di tempat favorit. Saat mencoba masuk SMA unggulan, gagal. Saat mencoba masuk PTN, gagal juga. Prestasiku tidak istimewa. Mungkin justru saat SMA dan kuliah aku merasa lebih berkembang tapi tetap saja, aku bukan yang terbaik.

Bukan karena aku bodoh. Aku tahu aku bisa. Tapi kenyataannya…
rasa malas dan takut itu terlalu kuat. Aku sering menahan diri. Tidak memberi usaha terbaik. Mungkin karena sudah terbiasa kecewa. Mungkin karena merasa terlalu sering gagal.
Dan akhirnya, kegagalan itu sendiri menjadi hal yang biasa.

Saat gagal, aku tidak lagi terlalu sedih. Aku hanya merasa, “yah, sudah biasa.”
Saat berhasil pun, aku tidak benar-benar merasa bangga. Rasanya seperti “bonus”, seperti keberuntungan. Bukan hasil kerja keras.

Tapi dari semua itu, aku belajar satu hal:
Aku tidak mau lagi hidup untuk jadi nomor satu versi orang lain.
Aku ingin jadi nomor satu versiku sendiri.
Aku ingin terus mengalahkan diriku yang kemarin, dua tahun lalu, lima tahun lalu.
Karena perjalanan ini bukan tentang menang. Tapi tentang terus menjadi lebih baik.


Dunia Ajaib yang Ingin Aku Bangun Kembali

Sejak kecil, aku punya satu imajinasi:

“Aku ingin hidup dalam dunia yang aku ciptakan sendiri. Dunia yang penuh makna. Penuh keajaiban. Tidak perlu diketahui orang lain. Cukup aku yang tahu. Dunia tempat aku bisa jujur dan hidup dengan cara yang aku inginkan.”

Tapi ketika tumbuh dewasa, aku mulai melihat bagaimana masyarakat bekerja. Aku mulai terbawa. Ingin dipuji. Ingin diakui. Ingin dianggap hebat.
Tapi ternyata… itu sangat melelahkan.
Aku merasa kehilangan diriku sendiri.
Dan hari ini, aku memutuskan pelan-pelan untuk kembali membangun dunia ajaibku.
Dunia yang tidak bergantung pada opini orang lain.
Dunia yang tidak menunggu tepuk tangan.
Dunia yang hanya tentang aku dan hidupku yang aku maknai, aku bentuk, aku jalani dengan cara yang paling jujur.

0 Comentarios