masa depan di setir FYP

 


Play Song: Muse - Uprising


Seperti yang kita tahu, tahun ini adalah tahun di mana pesta demokrasi akan berlangsung. Tanggal 14 Februari 2024 nanti, seluruh rakyat Indonesia akan memilih siapa yang akan memimpin Indonesia untuk 5 tahun ke depan.

Gen Z jadi pusat perhatian dalam Pemilu kali ini. Data DPT dari KPU RI nunjukin bahwa sekitar 22,85% dari total pemilih di Pemilu 2024 adalah Gen Z. Mereka nangkring di posisi kedua setelah Milenial. Dan kalo kita lihat data BPS tahun 2020, Gen Z memang jadi generasi paling banyak jumlahnya di Indonesia, sekitar 27.94%.

Menurut Pew Research Center, Gen Z ini lahir dari tahun 1997-2012. Dan dalam hal pemilu, Gen Z bakal jadi penentu banget. Yang berusia 17-21 tahun di 2024 ini baru pertama kali nyoblos, sementara yang lebih tua udah punya pengalaman ikutan pemilu sebelumnya.

Pada Pemilu 2019, partisipasi pemilihnya lumayan tinggi, mencapai 81,9%. Prestasi bagus dari Pemilu 2019 jadi standar buat kita di Pemilu 2024. Targetnya nggak cuma partisipasi tinggi, tapi juga kualitas pemilihnya harus oke.

Saat ini, di Indonesia selain di fase Pemilu juga masuk ke era digitalisasi pasca pandemi. Keadaan ini bikin semuanya beralih ke media sosial. Sejak pandemi, semua aktivitas yang biasanya di luar jaringan (luring/offline) jadi di dalam jaringan (daring/online). Work from Home, School from Home, semua jadi daring. Dan bukan cuma itu, segala aktivitas lainnya juga pindah ke dunia maya, dari hiburan, belanja, sampe ke aktivitas sosialisasi.

Dalam hal media, pandemi bikin pola konsumsi media dan pencarian informasi berubah total.

Kerasa banget dampaknya, terutama dari sisi masyarakat Indonesia. Data menunjukkan kalo sejak pandemi, makin banyak orang Indo yang sibuk di media sosial. Gak cuma itu, jumlah orang yang punya smartphone juga terus naik setiap tahun. Dan yang paling banyak ngabisin waktu di internet itu generasi Gen Z. Jadi, intinya, sebagian besar masyarakat Indo, khususnya Gen Z, kemungkinan besar nyari info dari media sosial.

Dari situ, kita bisa ambil benang merahnya bahwa media sosial bakal jadi faktor penting banget buat ngegoda perhatian dan dukungan Gen Z di Pemilu 2024. Strategi kampanye yang oke mesti bisa manfaatin platform digital buat nyampein pesan yang bener-bener nyambung dan menarik buat generasi ini. Plus, harus paham gimana media sosial bekerja dan gimana Gen Z bermain di sana.

Tapi media sosial sekarang nggak bisa dianggap tempat netral buat dapetin info soal pemilu. Media sosial dikendalikan sama sistem AI (Artificial Intelligence) yang pakai algoritma berdasarkan data dan analitik dari kebiasaan dan tingkah laku penggunanya. Hasilnya, kadang kita masuk ke efek bubble, di mana kita cenderung tenggelam dalam informasi yang cuma mengonfirmasi pandangan kita sendiri.

Efek bubble ini bisa jadi masalah serius, apalagi buat Pemilu 2024. Bisa bikin polarisasi dan ketidakpahaman antar kelompok pemilih. Gen Z, yang doyan cari info di media sosial, bisa aja terperangkap dalam satu sudut pandang tanpa lihat gambaran penuh dari berbagai perspektif. Ini bisa ngancurin prinsip dasar demokrasi, di mana pemilih mestinya bisa bikin keputusan yang informatif dan rasional berdasarkan pemahaman menyeluruh.

Ini contoh kasus yang kita hadapi sekarang dengan aplikasi TikTok yang lagi hits banget di kalangan Gen Z. Menurut laporan We Are Social bulan Oktober 2023, Indonesia punya sekitar 106,51 juta pengguna TikTok, dan itu menjadikan kita negara dengan pengguna TikTok terbanyak kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

TikTok punya algoritma yang disebut For You Page (FYP), yang bekerja dengan menganalisis tingkah laku pengguna, seperti video yang mereka tonton, like, dan share, terus mengenali pola minat mereka. Seiring waktu, FYP bakal tampilkan konten yang dianggap paling sesuai dengan selera masing-masing pengguna.

Tapi, ini punya sisi bahayanya. Misalnya, ada seorang pengguna TikTok yang awalnya gak punya preferensi kandidat apa-apa. Atau mungkin punya sedikit ketertarikan ke salah satu kandidat, katakanlah kandidat A karena udah pernah denger atau lihat sebelumnya. Awalnya dia juga gak punya kebencian terhadap kandidat-kandidat lain. Nah, AI dari algoritma FYP baca hal ini, dan mereka putusin untuk ngasih konten-konten positif tentang kandidat A biar pengguna makin suka sama kandidat A.

Seiring waktu, pengguna itu terus dapet konten-konten positif tentang kandidat A. Yang awalnya dia cuma tertarik, lama-lama jadi suka banget. Begitu dia udah di level suka banget, AI bakal makin gencar ngasih konten positif tentang kandidat A, ditambah dengan konten negatif tentang kandidat-kandidat lain buat bikin pengguna semakin suka sama kandidat A.

Dan ini berbahaya, karena pengguna yang udah suka banget, kemungkinan besar bakal jadi penggemar fanatik kandidat A. Lama-lama, dia bahkan bisa mengkultuskan kandidat A. Bagi dia, kandidat A itu sosok yang sangat berharga, sangat sempurna, bisa melakukan apa aja, sesuai dengan impian dia, dan nggak mungkin bisa melakukan kesalahan. Jadi kalau ada orang yang ngomong buruk soal A, dia langsung asumsi orang itu iri. Kalau ada skandal yang melibatkan kandidat A, dia akan asumsi kalau itu cuma settingan.

Efeknya, pandangan pengguna tentang kandidat lain ikut berubah. Awalnya mungkin gak benci, tapi karena terus dapet konten negatif soal kandidat-kandidat lain, akhirnya jadi membenci. Dari benci, bisa berkembang jadi sangat membenci sampai ke tahap nggak nyangka masih ada yang dukung kandidat-kandidat lain padahal mereka jelas-jelas buruk, bahkan sampai melakukan pembohongan publik menurut pandangannya.

Ini baru satu pengguna TikTok, gimana dengan 106,51 juta pengguna TikTok lainnya? Inilah yang bisa bikin polarisasi sangat berbahaya, bisa menyebabkan perpecahan di masyarakat, teman, atau bahkan keluarga. Ingat kasus "echo chambers" pada pemilihan presiden Amerika tahun 2016 dan 2020? Media sosial kaya Facebook banyak disalahkan karena menciptakan "echo chambers," di mana pemilih terpapar terutama pada pandangan yang udah ada, dan berita palsu atau informasi yang bias sering kali tersebar luas.

Setelah kita nyadar akan bahayanya polarisasi di media sosial, sekarang waktunya buat kita lebih aware dalam nyari informasi terkait pemilu, khususnya di media sosial. Kita perlu ubah kebiasaan yang gampang percaya dan langsung terbawa perasaan cuma gara-gara nonton potongan video pendek yang durasinya cuma 15-60 detik.

Kita tahu kan, Gen Z lebih seneng sama video pendek yang cepet, kasih info atau hiburan dalam waktu singkat, dan visual yang langsung nyeret perhatian daripada baca artikel panjang yang seringkali dianggap membosankan. Apalagi kalau bahasanya formal, bisa-bisa langsung di-skip.

Tapi, disayangkan banget kalau kita cuma milih calon pemimpin Indonesia berdasarkan apa yang muncul di FYP kita doang, tanpa mikir lebih jauh. Apalagi alasan-alasan absurd kayak "saya pilih kandidat Z karena dia kayak OPPA," atau "saya dukung kandidat X karena GEMOY,"  "saya memilih kandidat ini ya karena kasian sudah 3 kali mencalonkan tetapi belum juga menang" atau  "saya pilih kandidat Q karena anaknya tampan.".

Gimana sih, omong kosong kaya gitu bukan alasan yang masuk akal. Ini semua cuma akibat dari nyerap info di media sosial tanpa diolah dan dikritisi lebih dulu. Kita perlu lebih bijak dan kritis dalam menerima informasi, jangan cuma langsung nurut sama apa yang kita lihat di media sosial. Kalau enggak, bisa-bisa kita salah pilih nanti, dan yang rugi kan kita sendiri.

Jujur, bikin gemas juga ya liat orang-orang yang nggak mau repot-repot mencari informasi dengan serius. Padahal sekarang udah banyak banget sumber informasi yang gampang diakses. Debat capres, misalnya, udah bisa ditonton ulang kapan aja. Ada juga referensi dari para ahli dalam bentuk video dan podcast, dan juga rekam jejak, gagasan, rangkuman debat semua kandidat, semua calon yang valid bisa di akses di internet kaya website www.bijakmemilih.id.

Tapi ya, balik lagi ke kita masing-masing. Mau nerima informasi dari mana, itu pilihan. Apakah kita mau terjebak di dalam 'bubble' yang cuma nampilin apa yang kita suka, yang belum tentu bener atau baik buat kita, atau mau lebih jeli menjelajah apa yang sebenernya kita butuh dan yang terbaik buat kita.

Terus ada pertanyaan "emang penting milih pemimpin negara?" Ya, jawabannya tergantung situasinya. Kalo kamu warga negara dan kebijakan pemimpin negara itu nyentuh 50% kehidupanmu, pasti penting dong. Tapi kalo kamu bukan warga negara sana dan kebijakan dia nggak ngaruh banyak buatmu, ya mungkin nggak se-"life and death" itu.

Pemimpin negara punya kekuasaan besar. Mereka bisa bikin kabinet kaya menteri-menteri, ngasih perintah eksekutif, bisa mengangkat pejabat tinggi, penggunaan anggaran negara yaitu uang kita semua, dan masih banyak lagi otoritas-otoritas besar lainnya. Memang otoritas itu semua nggak berdampak ke 50% kehidupan kita?

Terus, Kesejahteraan ekonomi kaya penciptaan lapangan kerja, penentuan UMR/UMK, dan pajak memang siapa yang mengatur? Akses Pendidikan dan Kesehatan kaya kurikulum pendidikan, BANSOS, BPJS memang siapa yang mengatur? Belum lagi perlindungan HAM dan keadilan hukum, memang siapa yang mengatur hal-hal itu semua? Menteri-menteri? Memang siapa yang memilih menteri kalau bukan Pemimpin Negara?

Kalau masih mau memilih pemimpin negara dari hal-hal viral aja, jangan mengeluh kalau nanti susah dapat pekerjaan, jangan mengeluh kalau UMR/UMK nggak sebanding sama pekerjaannya, atau jangan mengeluh pajak di caffe favorit jadi mahal. Dan jangan protes kalau jam sekolah panjang bareng tumpukan tugas, jangan protes kalau obat BPJS nggak sebagus obat yang bukan BPJS, jangan protes karena banyak yang gizi buruk.

Intinya, milih pemimpin negara itu tanggung jawab besar yang nyambung sama masa depan dan kesejahteraan kita. Sebagai warga negara, kita punya peran aktif buat nentuin arah kebijakan pemerintah yang bakal ngaruh ke berbagai aspek kehidupan kita. Jadi, jangan anggep remeh, dan kita perlu mikirin pilihan kita dengan serius.

Jangan sampe kita cuma ngikut isu-isu yang sementara atau lagi ngehits aja. Lebih baik kita bener-bener ngerti program, visi misi, dan rekam jejak calon pemimpin. Pemilihan yang bener-bener dipikirin bakal bawa dampak positif jangka panjang buat pembangunan dan kemajuan negara. Dengan ngerti tanggung jawab ini, kita bisa aktif banget dalam bentuk partisipasi kita dalam proses demokrasi.

Sources :

Jurnal GENERASI Z DALAM PEMILU: POLA BERMEDIA GENERASI Z DALAM PENCARIAN INFORMASI POLITIK by Nona Evita

0 Comentarios