toxic relationship






Sering mendengan kata 'Toxic Relationship' istilah ini sudah tidak asing lagi dan mungkin beberapa dari kita pernah atau sedang berada dalam Toxic Relationship secara sadar maupun tidak sadar.

Secara singkatnya Toxic relationship adalah suatu hubungan yang tidak sehat yang dapat menyakiti salah satu pihak. Menurut J.A. McGruder dalam bukunya yang berjudul Cutting Your Losses from a Bad or Toxic Relationship, "hubungan toxic adalah kondisi di mana di dalamnya terdapat perilaku secara emosional yang dilampiaskan oleh seseorang kepada pasangannya dan bahkan perilaku ini dapat melukai fisik dan mental pasangannya "(McGruder, 2018).

Yang menjadi tanda tanya besar adalah mengapa orang bisa berada dalam Toxic Relationship dan mengapa rasanya susah sekali keluar dalam Toxic Relationship.

Perasaan dan logika adalah dua hal yang bersumber dari tempat yang sama yaitu kepala atau otak. Dalam otak terjadi banyak proses salah satunya bagaimana pikiran bekerja dan bagimana hormon bekerja. Mari kita bahas.

Ada bagian dari otak yang namanya VTA (Ventral Tegmental Area) yang mana ketika jatuh cinta dan memulai sebuah hubungan maka akan merasakan perasaan nyaman yang luar biasa euforia, kebahagiaan, dan perasaan impulsif. Perasaan-perasaan ini munculnya dari bagian VTA. Ketika jatuh cinta kinerja VTA meningkat dan memproduksi hormon dopamin (hormon yang menimbulkan efek candu). Efek dari dopamin inilah yang menyebabkan kenyamanan, kebahagiaan, euforia dan impulsif tadi. Maka dari itu mengapa hampir semua orang ketika memulai suatu hubungan merasakan kebahagiaan yang luar biasa, seakan semuanya akan baik-baik saja. 

Seiring berjalannya waktu hubungan akan makin dekat, makin intens, makin merasakan kenyamanan, ketertarikan dan lama-lama akan menjadi ketergantungan. penyebab dari semua itu adalah hormon Oksitoksin dan Vasoporessin. Kedua hormon ini mengirimkan rasa percaya, dukungan sosial, dan kasih sayang. Oksitosin juga berkembang dengan ikatan pertemanan yang erat dan keluarga. Itulah mengapa kalau sedang bermasalah dalam masalah akan terasa jauh lebih ringan, akan jauh lebih rileks ketika menghabiskan waktu dengan orang-orang yang kita sayangi, termasuk pasangan. Produksi oksitosin Ini akhirnya menjadi penghambat perkembangan hormon stres (hormon kortisol).

Dopamine yang diproduksi ini ternyata menimbulkan efek negatif bagi bagian otak yang lain yaitu Prefontal Cortex. Bagian yang bertanggung jawab pada kemampuan kognitif. Bisa masuk akal mengapa ketika kita bilang saat sedang jatuh cinta sulit sekali menggunakan akal sehat. Maka dari itu ada yang bilang kalau belum ngerasa bego berarti belum jatuh cinta. 

Selain berpengaruh pada Prefrontal Cortex, dopamine juga berperan dalam penipisan hormon yang lainya yaitu hormon Serotonin. Serotonin yang menipis ini akan berdampak pada mood yang tidak stabil, kecemasan, gangguan makan, dan bahkan perasaan obsesi.
Ketika manusia sudah merasakan obsesi itu benar-benar jadi buta. Sampai bisa membenarkan hal yang salah dan menghiraukan hal-hal yang sebenarnya sudah jadi red flag dalam hubungan.

Lalu ketika patah hati, sakit hati, dikecewakan dan ditinggalkan maka semua rasa sakit itu akan mengaktifkan bagian otak ya namanya Insular Cortex karena bagian otak inilah yang memproses rasa sakit itu dan ketika dia aktif perasaan itu sangat tidak nyaman.
Kita akan merasakan kewalahan, kegalauan, kegusaran. Dan ketika semua bentuk ketidaknyamanan ini di rasakan, akhirnya mengenang lagi memori-memori yang meningkatkan dopamin dahulu awal-awal pertemuan. Bagaimana perlakuan dia dahulu dan lain sebagainya. Akhirnya ketika merasakan Kerinduan tersebut kinerja VTA itu kembali meningkat dan dia menuntut dopamin Lagi dan lagi. Dan itu menimbulkan ketidaknyamanan yang sangat luar biasa di tubuh. Ini yang menyebabkan mengapa kita terusmenerus memaafkannya, merasa bahwa kita membutuhkannya dan menganggap semua bisa diperbaiki padahal nyatanya tidak,

Di sinilah titik krusialnya saat aktivitas VTA meningkat lagi, rasa rindu muncul lagi walau sudah disakitin sekalipun. Kita akan sangat menikmati sedikit saja perlakuan baik dan perhatian dari orang yang udah memberikan rasa sakit itu kepada kita. Dan akhirnya kita mulai membuat alasan-alasan yang tidak masuk akal, misalnya 'Yang ngertiin dia cuman aku' 'Mungkin aku yang salah' 'Mungkin aku yang kurang' 'Kalau bukan aku siapa lagi' 'Mungkin aku harus sedikit bersabar' 'Mungkin aku harus lebih mengenal dia'  'Mungkin dia akan berubah' sampai sudah di titik mengabaikan pendapat orang lain yang bilang kalau you can fix someone dan kamu keep trying dan semuanya terasa makin menyakitkan. Pada akhirnya terjebak dalam siklus yang berulang, Itulah mengapa lepas dari Toxic Relationship itu sangat-sangat susah. Sama seperti orang-orang yang mencoba lepas dari ketergantungan rokok dan narkotik. 

Maka dari itu ketika ada orang yang berada dalam hubungan Toxic kita tidak bisa nge-judge segampang itu. Kalau peduli bisa coba bantu dia cari distraksi, cari kenyamanan, cari ketenangan karena memang tidak mudah. Ada prosesnya dan semuanya itu tidak akan pernah bisa berhasil tanpa tekad yang kuat. Karena balik lagi semua ini bukan berdasarkan standar pribadi seseorang atau moralitas seseorang tetapi reaksi biokimiawi yang ada di dalam tubuh kita.

Dan hal paling penting lainnya otak kita ini di desain dengan sangat luar biasa. Otak kita selalu dirancang untuk terus bertahan hidup dan beradaptasi. Ketika kita bisa melewati masa-masa ini maka otak akan berfungsi normal seutuhnya. Yang perlu dilakukan adalah bersabar.

Seperti kisahnya Raja Solomon di mana dia memberikan para penasihatnya sebuah tugas bagaimana menemukan cara untuk membuat dia senang ketika dia sedih, atau membuat dia sedih ketika dia senang. Para penasehatnya berpikir cukup lama dan akhirnya menemukan sebuah solusi. Tidak, solusi mereka bukanlah sebuah mesin yang rumit atau sesuatu yang berupa fisik. Sebaliknya, solusi mereka adalah sebuah kutipan.

"This too shall pass"
(Inipun juga akan berlalu)

Solusi dari para penasehatnya berhasil. Setiap kali Raja Solomon mendapati dirinya terlalu bahagia, dia ingat bahwa momen yang sedang dia nikmati berlalu dengan cepat. Disaat yang sama, ketika Raja Solomon mendapati dirinya sedang sedih, kutipan itu mengingatkannya bahwa kesedihannya hanyalah sementara.

Kutipan ini mengajarkan untuk menikmati setiap momen yang ada. Kita mungkin berada di titik paling terendah dalam hidup, tetapi kesedihan itu tidak permanen. Begitupula sebaliknya, saat kita merasa kebahagiaan, kutipan itu menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak akan berlangsung selamanya. 

Kita tidak bisa denail terus-menerus, kita harus sadar ini masalah dan buka masalah yang ringan. Kita tidak akan pernah menemukan solusi dari satu masalah kalau mengidentifikasi masalahnya saja sudah gagal. Jadi terima rasa sakit itu, hadapi rasa sakit itu, isi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat. Buat hal-hal yang membuat tenang, hal yang membuat nyaman. Entah itu menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat, ngobrol dengan temen, menjalani hobi, atau bahkan beribadah kalaupun beribadah bisa membuat tenang. 
Karena aku selalu percaya tidak ada badai yang tidak usai. Cepat atau lambat tiap luka akan pulih dan mengering. Mungkin meninggalkan bekas tetapi tidak lagi menyakitkan selama percaya hari itu akan datang.


Source:


0 Comentarios